Senin, 14 November 2016

Kota nan Hangat.. Purwokerto..
Purwokerto satu november dua ribu enam belas. Tanggal pertama di bulan november, minggu kedua di kota mungil Purwokerto. Kurang lebih 9 hari yang lalu aku tiba di kota mungil ini. kota yang 10 bulan lalu aku anggap masa lalu ku, ternyata ku mulai masa depan ku di kota mungil ini. Selama 4 tahun 3 bulan, kota ini menjadi bagian dalam tulisan bertinta dalam microsoft word, yang aku tulis tapi masih berpikir berkali-kali untuk membagikan. Di kota ini, aku melewati banyak kisah dan cerita yang mungkin bisa dijadikan serial eftivi di atas panggung kehidupan.
Menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota senyaman, setenang ini membuatku merasa aman dan tentram. Yah bisa di bilang ini tidak baik untuk seorang mahasiswa yang harusnya memiliki semangat perjuangan untuk maju. Aku menghabiskan waktu selama 4 tahun berkecimpung di dunia politik kampus. Menjadi bagian dari yang katanya lembaga politik. Itulah masa laluku. Mungkin ada orang yang tau, tapi mungkin tak banyak yang tau. Ntah wajahku familiar atau membosankan.
Kosanku adalah tempat ternyaman untuk berbagi. Sudut pandang, kebudayaan yang berbeda tidak membuatku tersedak menelan kekecewaan. Kami malah membuatnya menjadi sebuah ikatan kekeluargaan. Setiap jati diri yang ku temui menjadi bahan pembelajaran untukku. Menjadi pedoman dalam mengutarakan pemikiranku. Tidak semua orang menerima cara yang sama dalam menikmati kehidupan. Tidak semua pribadi dengan cepat beradaptasi dalam perubahan. Setiap di Purwokerto, salah satu rumah yang ingin selalu aku kunjungi adalah kosan ini untuk bertemu dengan mereka para perempuan rantau.
Di malam hari, saat kami berkumpul, ada salah satu anak kosan yang baru saja datang dari mengajar di sebuah bimbingan belajar (bimbel). Aku bertanya-tanya sedikit, tentang dimana bimbel itu dll. Setelah itu, aku melamar kerja ke bimbel yang dimaksud sebagai mentor mata pelajaran IPS. Aku datang, dan aku langsung diterima. Sebuah harapan baru yang muncul dalam hidupku. Aku tidak lagi berpikir apa aku bisa mengajar atau tidak. Yang aku tau, aku bekerja, melakukan yang terbaik, dan aku mendapatkan imbalan yang cukup untuk mencukupi kebutuhanku selama jauh dari orang tua, dan syukur-syukur aku bisa membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Malamnya aku langsung di sms untuk mengajar di dua kelas. Aku bersyukur. Allah swt. memberikan apa yang aku butuhkan sesuai dengan waktu yang tepat. Keesokan harinya, aku datang setengah jam sebelum waktu mengajar yang telah dijadwalkan. Setengah jam aku menunggu, ternyata anaknya belum datang juga. Aku melanjutkan penantianku. Tepat setengah jam berikutnya, aku masuk ke kelas, menyapa mereka dan berkenalan. Aku bertanya, “apakah ada PR (pekerjaan rumah)?” mereka menjawab dengan suara males-malesan “tidak”. Aku lanjutkan pertanyaanku, “terakhir belajar apa di sekolah?” “Globalisasi.” “Hah, serius?” “Iya.” Ini mata kuliah konsentrasi aku waktu menjadi mahasiswa. Aku takjub, anak SMP belajar globalisasi, wow. Emang udah zamannya sih. Aku bersyukur karena aku paham tentang globalisasi. Masuk ke kelas selanjutnya, materinya masih sama. Sama-sama tentang globalisasi. Aku terselamatkan. Keesokan harinya aku mengajar lagi, kelas yang pertama hanya ada satu anak, dia ada PR, dan aku mendampinginya mengerjakan PR. Setelah itu, aku mengajar di satu kelas lagi, mereka malah ga mau belajar, maunya ngobrol dan follow instagram mereka, “ada-ada saja.” Tapi aku tetap mengajarkan mereka sedikit tentang interaksi sosial. Kenapa sedikit, karena mereka sudah tidak kondusif.
Aku sangat mengerti akan kondisi ini. Asyiknya bercerita dengan teman-teman yang lain lebih bermakna ketika rasa malas yang menghinggapi diri ini. seperti aku saat ini, aku lagi malas belajar IELTS, jadi aku menulis saja. Haha aku ingat beberapa tahun yang lalu, terkahir aku les bahasa inggris di salah satu bimbel yang cukup memiliki nama di kota asalku. Hanya seminggu tiga kali pertemuan dan aku mengakhirinya, sampai-sampai di sms sama mentornya. “Shyta, kamu ga les lagi?” “ga pak” “kenapa?” “males.” Haha that’s my answer. Aku adalah tipe orang yang bisa dibilang ga suka untuk belajar lagi di kelas, selain di sekolah dengan metode yang sama. Aku lebih suka bertemu dengan alam, orang lain, mungkin dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda. Itu lebih mengasyikan. Atau kalau belajar, aku lebih suka sambil dengerin lagu dan ngubek-ngubek buku sampai bukunya tidak lagi berbentuk. Aku lebih suka pergi ke gramedia daripada ke perpustakaan. Aku lebih suka duduk sendiri di tengah keramaian atau saling bercerita sambil duduk bertatap muka.
Bisa dibilang aku adalah Uray Shyta Damayanti yang mungkin ber-IQ rendah. Belum pernah tes IQ sih haha. Nah, Kenapa? Karena aku menggunakan 4 metode pembelajaran yang mungkin hanya aku yang menggunakan. Pertama, aku baca. Kedua, aku garis. ketiga, aku tulis dengan kata-kataku sendiri. keempat, aku praktekan. Tapi setelah itu, alhamdulillah aku cukup berhasil melewati seminar proposal dan pendadaran dengan mendapatkan tepuk tangan dari mereka. Belajarlah dengan penuh keyakinan dan kepercayaan terhadap Allah swt. dan sertakan Allah swt. dalam setiap usahamu, maka Allah swt. akan memberikan jalan. Ketika kau sudah diatas panggung, serahkan dan pasrahkan semua pada yang kuasa.

Ini ceritaku, dari sudut pandangku. Kau tidak suka? Terserah padamu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar